11.21.2012

Kisah tentang Si Gembala Kecil

 Disadur dari blog "Gembala Kecil"

Senja itu, Sang Gembala Besar membawa Si Gembala Kecil ke puncak bukit. Mereka berdua, ayah dan anak, berdiri bersama, berlatar belakang langit kebiruan dengan semburat kuning keemasan dari matahari yang hendak tenggelam. Di hadapan mereka, terbentang padang gembalaan yang luas, dengan domba-domba yang merumput di sana-sini.

"Anakku," Sang Gembala Besar itu mulai bersuara. "Apakah engkau mencintaiku?"

Si Gembala Kecil itu tergagap-gagap menjawabnya. "Aku... aku... T-t-tentu saja a-a-aku mencintai Ayah..."
"Terima kasih atas cintamu itu, Anakku, tetapi cinta itu tak boleh lebih besar daripada cintamu terhadap domba-dombamu."

"D-d-domba-dombaku?"

Sambil tersenyum, Sang Gembala Besar mengambil dari lipatan jubahnya, sebuah tongkat penggembalaan kecil, yang bentuknya serupa dengan tongkat besar miliknya. Diserahkannya tongkat itu kepada Si Gembala Kecil dengan penuh kasih sayang.

"Ya, domba-dombamu. Mulai sekarang, kau mendapatkan sebagian dari dombaku, dan kau harus menjadi gembala yang baik bagi mereka."

"T-t-tapi Ayah, a-a-aku tak tahu cara menjadi gembala yang baik..."

"Anakku, aku tak menuntutmu sempurna saat ini juga. Aku hanya ingin kau bersedia." Sang Gembala Besar berhenti bicara sejenak, untuk menatap mata Si Gembala Kecil lekat-lekat. "Maukah kau?"

Si Gembala Kecil bergerak-gerak gelisah. Ia tak pernah takut pada ayahnya. Ia sangat mencintai laki-laki itu, dan ia tahu bahwa dalam cinta, banyak hal bisa membuatnya menggigil, bahkan hal-hal itu membuatnya menggigil jauh melebihi rasa takut yang paling kelam.

"Maukah kau?"

Suara itu jelas dan tegas. Si Gembala Kecil menengadahkan kepalanya. Ia mengira akan menjumpai sepasang mata yang tajam dan keras. Tetapi, sepasang mata yang menatapnya adalah mata yang sama, yang dikenalnya, yang selalu dicintai dan dirindukannya. Sepasang mata itu begitu teduh dan menenteramkan. Sepasang mata itulah yang selalu menariknya untuk pulang, setelah sekian lama penjelajahan panjangnya menyusuri hutan-hutan di sekitar padang penggembalaan.

"Maukah kau?"

Si Gembala Kecil tersentak dari lamunannya. Sudah tiga kali ayahnya menanyakan hal yang sama. Kali ini, ia harus menjawabnya.

"Aku mau, Ayah."

Sang Gembala Besar tersenyum. Ia masih menyodorkan tongkat gembala kecil kepada anaknya. Si Gembala Kecil pun mengambilnya. Meskipun kecil, tongkat itu terasa berat di tangannya. Dapatkah ia berlari-lari dengan tongkat seberat ini?

Sang Gembala Besar, masih tersenyum, berkata lembut, "Biar kuringankan bebanmu." Ia lalu meraih tas anyaman rumput kasar yang bergantung di bahu Si Gembala Kecil, lalu mengambilnya dari si empunya.

"Tapi Ayah... Mengapa Ayah mengambilnya?"

Sang Gembala Besar tak menjawab. Ia hanya membuka tas anyaman rumput kasar itu, lalu menunjukkannya kepada anaknya. "Lihat anakku," demikian katanya, "Di dalam tas ini kau simpan semua hal yang menyenangkan hatimu. Seruling yang selalu memainkan nada-nada indah bagimu, buku-buku puisi yang menemani khayalanmu melayang jauh, pisau tajam, yang selalu kau pakai untuk mempertahankan dirimu dari bahaya... Dan apa ini? Sekuntum mawar kering? Dari makam ibumukah?" Sang Gembala Besar itu terdiam sejenak sambil memegang dan menatap lembut kuntum mawar yang kering kecoklatan itu. Ingatannya sejenak mengembara... dan ia menghela napas panjang...

Sang Gembala Besar itu lantas kembali mengaduk-aduk tas anyaman rumput kasar milik anaknya. "Kau bahkan menyimpan patung-patung kayu kecil mainanmu... Selembar surat, ah, aku tak akan melihatnya dari siapa... dan... sebuah kulit kerang? Dari mana kau dapatkan kulit kerang ini? Laut begitu jauh..."


Sang Gembala Besar menatap anaknya dengan heran. Si Gembala Kecil menundukkan wajahnya yang kemerah-merahan. "Ah..," Sang Gembala Besar pun paham. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya seraya membelai kulit kerang yang putih kemilau itu di tangannya. "Pengembaraanmu. Tentu saja." Entah kenapa, Sang Gembala Besar itu tiba-tiba merasa tua dan lelah. Ia tahu bahwa tahun-tahun telah menghabiskan usia, juga masa mudanya. Dalam diam, ia memasukkan kembali kulit kerang itu ke dalam tas, lalu menatap anaknya tajam-tajam.





"Anakku, kau tak membutuhkan semuanya ini saat menggembalakan domba-dombamu. Kau hanya perlu mencarikan mereka rumput yang segar, air yang jernih, dan tempat yang teduh bagi mereka untuk beristirahat. Kau tak perlu membacakan mereka puisi, mengajak mereka bermain-main dengan patung-patung kayumu, memainkan seruling atau berkisah tentang ibumu kepada mereka, pun tak perlu menceritakan khayalan maupun pengembaraan-pengembaraan yang pernah kau alami. Kau bahkan tak memerlukan pisau tajam ini, karena kau telah memiliki tongkat gembalamu sendiri."

Si Gembala Kecil mendengarkan dalam diam.

"Anakku, perhatianmu hanyalah domba-dombamu. Senangkanlah dan jagalah mereka. Cintailah mereka, meski itu berarti melepaskan cinta pada dirimu sendiri."

Sebutir air mata jatuh dan mengalir di pipi Si Gembala Kecil. Sang Gembala Besar melihatnya dan terdiam. Untuk kedua kalinya, ia menghela napas panjang.

"Jalanmu penuh bahaya, Nak. Kau harus menyadari itu sekarang. Hidup seorang gembala tak pernah mudah. Aku pun tak akan menawarkan kemudahan bagimu. Aku hanya menjanjikan..." Sang Gembala Besar itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "... diriku sendiri untukmu. Jangan takut. Aku akan selalu ada di sini..." Sang Gembala Besar itu menyentuhkan tangannya dengan lembut ke dada Si Gembala Kecil, "... dan di bukit ini, ketika kau ingin sejenak berjarak dengan perjalananmu sendiri. Dakilah bukit ini untuk menemukanku... Aku akan selalu ada bagimu, menyimpan tas anyaman rumput ini untukmu, dan akan memperhatikan langkahmu yang menjauh saat kau hendak kembali menggembalakan domba-dombamu. Jika kau terlalu lelah untuk menjumpaiku atau mendaki bukit ini, menengadahlah ke angkasa... pandanglah bintang-bintang yang berkerlap-kerlip di sana... Kau akan tahu Anakku, bahwa kita ada di bawah langit yang sama... dan seseorang nun jauh di sana sedang mencintaimu dengan tiada habis-habisnya..."

Si Gembala Kecil terisak-isak pelan. Sang Gembala Besar merengkuh tubuh kecil itu ke dalam pelukannya yang hangat. "Pergilah. Kau dilahirkan untuk suatu tujuan."

Sejenak kemudian, Sang Gembala Besar melepaskan pelukannya, lalu membiarkan Si Gembala Kecil berbalik dan menuruni bukit.


NB : This story specially of whom is for a teenager who can't  make peace with their parent.

Tidak ada komentar: